Geliat sastra beberapa
tahun terakhir tengah tumbuh mekar kembali. Di antara pusaran gejolak sosial,
seperti maraknya pemberitaan hoax, SARA, radikalisme, terorisme, sastra hadir
mengajak kita untuk berbudi pekerti luhur dengan kelembutan bahasa, meresapi
setiap makna hakiki yang terkandung dalam kehidupan ini, ada keteraturan seni
yang sangat artistik, perenungan panjang, penyatuan jiwa terhadap Tuhan, alam, dan
proses kehidupan yang ada.
Dan jika selama ini kita
mengenal rupa novel lewat karya beberapa penulis yang sudah kondang atau sedang
booming semisal Dee Lestari, Mery
Riana, Asma Nadia, maupun puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, atau Roman Picisan
yang dihidupkan kembali; kini Fissilmi Hamida hadir mengajak kita untuk
mengenal lebih dekat tentang Jawa, budayanya, daerahnya, keseniannya, semua
tertuang lewat novel karyanya, Canting.
Dalam novel ini tokoh
utama diperankan Sekar Kinasih dan Hadi
Suwito. Tokoh antagonis diperankan dr. Ajeng (Rahajeng Sukmawati) dan bapaknya Sekar
serta tritagonis (peran pendukung) dimainkan oleh Si Mbok, Kanjeng Ibu Sundari,
Haryo, Ratri, Airlangga, Eldo, Ferdi dan mahasiswa Queen Mary.
Kisah dimulai kala Sekar
dijodohkan ayahnya dengan Hadi Suwito (usia 28 tahun, anak tunggal dari mantan
lurah desa Sardonoharjo yang sekaligus pemilik the House of Sundari, lulusan
MBA Fak. Ekonomi dan Bisnis UGM serta Double Degree jurusan MSc International
Bussiness di Queen Mary University of London, Merylebone).
Awalnya, Sekar tidak
sepakat dinikahkan muda karena ia tak mau seperti temannya yang cuma berakhir
di dapur, sumur, dan kasur. Namun Si Mbok menasehati dengan filsafat Jawa
tentang perempuan. Dalam budaya Jawa, perempuan memiliki tiga sebutan yaitu wadon, wanito dan estri. Bahwa
sejatinya kodrat perempuan menjadi pelayan suaminya namun sesuai hak dan
perannya sebagi istri serta ibu yang mendidik anak-anaknya agar saleh, pintar
dan rajin. Sehebat-hebatnya suami, ada peran dan dorongan dari istri di
belakangnya. Si Mbok juga berujar, “Dedalane
guna kawan sekti, kudu andhap asor, wani ngalah dhuwur wekasane, tumangkula yen
dipun dukani, bapang den simpangi, ana catur mungkur.” Diambil dari tembang
Macapat Sekar Mijil yang artinya
terlahir kembali.
Jarak umur antara Sekar
dan Hadi terpaut 10 tahun. Hadi sejak kecil sudah mengenal keluarga Sekar,
ketika ibu Sekar jadi rewang
keluarganya. Seringkali Hadi mengajari matematika kepada Sekar dan bahkan
sering berboncengan saat sekolah. Setelah dewasa Hadi mulai menyukai Sekar. Terlebih
saat Sekar melukis batik motif truntum
– yang diambil dari kisah Sri Susuhunan Pakubuwono III dengan Ratu Beruk –
dengan indah. Kangjeng Ibu yang merupakan ibu dari Hadi merestui Hadi untuk
menikah dengan Sekar. Hadi orang yang sangat romatis, teduh hatinya, sabar,
ngemong, mengayomi, dan juga cerdas.
Satu ketika Hadi
mengajak Sekar dan mengulurkan sebuah cincin pertunangan yang sengaja
dipesannya dua bulan sebelum kelulusannya dari Qeen Mary di kota Bringhton
dengan jenis logam langka zirkonium yang tahan api dan panas bertuliskan “Sekar-Hadi”.
Ia berkata,”Gegaraning wong akrami, dudu
bandha, dudu rupa, amung ati pawitane.” Merupakan tembang asmarandhana yang
artinya Sekar aku tidak peduli tentang harta, rupa, atau status sosialmu,
karena yang aku lihat adalah hatimu. “Menikahlah denganku,” katanya. Lalu
dilanjutkan “Lelaraning lara, ora kaya
wong kang nandhang wuyung, mangan ora doyan, ora jenak dolan, ning omah bingung”
(ciptaan Ismanto 1960-an) yang artinya sakitnya sakit, tak sebanding dengan
sakitnya orang yang sedang jatuh cinta. Tak enak rasanya untuk dimakan, tak
nyaman rasanya untuk jalan-jalan, ketika di rumah dilanda kebingungan.
Lamaran terhadap Sekar itu
bak Cinderella dari Jawa atau kisah Mariya Qibtiya (seorang budak) yang
dinikahi Kanjeng Nabi. Bagi Hadi, Sekar itu tidak seperti mawar yang bisa
langsung dilihat keindahan pesonanya. Namun bak “Gadis Jahe”. Ia tumbuh dalam
tanah, tak tampak oleh mata, tersembunyi dalam bumi. Walau di tempat gelap dan
sunyi ia mampu memunculkan kembang yang berwarna putih agak merah muda dan
kembang itu kini tubuh dalam hati Hadi.
Kebahagiaan Sekar dan Hadi
layaknya legenda budaya Jawa “Mimi lan
Mintuna” yang menggambarkan kesetiaan pada pasangan. Di hari pernikahannya Hadi
tidak percaya bahwa Sekar juga bisa Bahasa Perancis tatkala membalas sapaan Ajeng
(orang yang sangat memendam cinta pada Hadi sejak kuliah). Sekar juga bisa Bahasa
Inggris karena ia dulu pernah menjuarai debat Bahasa Inggris se-DIY.
Kisahnya bersama Ajeng
belum usai. Pepatah Jawanya seperti ini, “Kesrimpet
bebed, kesandung gelung.” Menggambarkan lelaki yang sudah berumah tangga
namun terjerat cinta perempuan lain di luar pernikahannya. Ajeng lupa kata-kata
Hadi, “Trenso kui kaya criping telo. Iso
ajur yen kowe ora ati-ati le nggawa”. Di sisi lain, Sekar tahu kalau ada
pesan di HP Hadi yang bertuliskan love
you. Hadi menenangkan hati Sekar dengan berkata, “Lihatlah pantai dan ombak
ini. Meski mereka berkelana namun akan terus kembali ke pelukannya. Tak ada
pantai tanpa ombak sebagaimana Sekar dan Hadi.”
Filosofi Hadi yang pernah
dikatakan pada Ajeng adalah tentang frekuensi. Kita bisa menikmati dari satu
gelombang ke gelombang lain. Jika kita suka bahkan iklan atupun gangguan
gelombang kita tetap suka. Ada juga filosofi mengaduk kopi dengan sendok yang
artinya, “Sendhekno marang sing kuasa”.
Kewajiban kita setelah ikhtiar adalah menyerahkannya pada yang di atas. Kopi
tersebut didiamkan sebentar supaya adem artinya ati digowo lerem. Setelah melewatinya, disruput yang artinya sedaya
rubeda bakal luput, segala godaaan mudah-mudahan terhindar.
Hadi berucap, “Tidak ada
pernikahan tanpa godaan dan tanpa cobaan”. Layaknya “Sumpit” yang harus
sepasang dan sama panjangnya. Perhatikan saat sumpit digunakan, satunya gerak,
satunya diam. Maka jika dilanda kemarahan, jika satunya marah, satunya lagi
diam. Dalam mengambil makanan sumpit tentu harus berpasangan. Apapun rasa
makannya, bentuknya, semua dirasakan bersama. pahit, getir, masalah apapun
itu.
Hubungan Sekar dengan
bapaknya memang tidak terlalu baik karena bapaknya lebih senang mendapatkan
anak laki-laki dari pada anak perempuan dan ketiga anak lelakinya telah
meninggal. Si Mboknya menasehati Sekar untuk selalu berbuat baik sebagaimana
Sura Dira Jayadiningrat, “Lebur dening
pangastuti” yakni kerasnya hati kelak akan kalah oleh kesabaran dan
kelembutan hati. Dilanjut, filosofi teh yang belum diaduk, awalnya terasa
pahit, namun terakhir sisa gula yang terendap akan terasa manis sekali. Sama
halnya jika Gusti Pangeran memberikan kita ujian dengan rupa sesuatu yang pahit
untuk dirasakan maka jika tabah menjalani, sabar menghadapi, kelak akan manis
nantinya. Sekar ingat restu simboknya bahwa dengan menikah tidak lantas
menghancurkan cita-citanya untuk sekolah lagi namun suami bisa membimbing untuk
lebih maju. Sebagaimana Hadi yang mengajak Sekar untuk kembali sekolah.
Kanjeng Ibu (ibunya Hadi)
ternyata pernah mengenalkan dan mengajari Sekar membatik saat usia 7 tahun. Ada
alat batik namanya gawangan, kayu
yang berguna untuk menaruh kain mori agar bisa untuk membatik di atasnya,
berbentuk seperti jemuran. Ada anglo yang digunakan untuk menyalakan api dan
memaskan lilin agar cair. Bahan bakarnya memakai arang bukan kayu dan diaduk di
wajan kecil. Canting digunakan untuk menggambar sebagaimana fungsi kuas cat
air. Kemudian ada tiga filosofi canting. Gagang
yang berarti keimanan manusia pada Tuhan. nyamplung
yakni tempat cairan malam yang berarti seharusnya manusia membesarkan hati,
menampung segala uji dan coba dalam hidupnya. Cucuk canting yang jika
digunakan tergesa-gesa akan segera habis dengan hasil yang tidak maksimal namun
jika digunakan dengan pelan dan hati-hati maka keindahan paripurna akan
tercipta.
Ada kalanya hidup
seperti tembang megatruh yang artinya
terpisahnya jiwa dan raga. “Datan setik
lamun kataman, datan susah lamu kelangan”. Artinya jangan mudah sakit hati,
saat musibah datang menghampiri, jangan terus meletakkan kesedihan dihatimu
saat kehilangan sesuatu. Sekar berkata, “Urip
rekoso gelem, mukti uga bisa, sabaya mukti, sabaya pathi”. Artinya hidup
dalam kesusahan tersedia, hidup makmur pun bisa, sehidup semati dalam suka
maupun duka. Ada lagi filosofi bunga melati yang dalam Jawa berarti mlathi (rasa melat saka njero ati) berarti berucap dan berbicara selalu
tulus dari hati nurani. Hadi membawakan Sekar kembang melati kesukaannya saat
ulang tahun ke 19.
“Gusti paring pitedah, bisa lewat susah, bisa lewat bungah”. Artinya
Tuhan memberikan ujian bisa melalui kesusahan atau ujian kebahagiaan. Jiwa Hadi
kembali lagi setelah musibah menerpanya. Sekar menuntun jalannya agar tidak
lupa jalan pulang. Hadi memuji mata Sekar, “Mripate
ndamar kanginan, idepe tumenga ing tawang”. Sekar selama ini tidak pernah
meminta hadiah, namun Hadi memaksanya, lalu Sekar meminta hadiah untuk
menghidupkan the House of Sundari yang tiga bulan ini vakum karena kebakaran
gudang sekaligus menciptakan brand
usahanya sendiri. Sekar bisa menjahit dan tertarik dengan seni. Kata Hadi,
“Kadang hidup seperti jamu pahitan”.
Pahit sekali namun membuat kita lebih kuat dari sebelumnya.
Ikatan pernikahan
berjalan untuk memajukan, bukan mengekang, untuk melejitkan potensi bukan
membatasi. Jalan Urip Sumoharjo, Klitren, Gondokusuman atau populer disebut
Jalan Solo menjadi saksi Sekar mencari kain project
pertamanya, Sekar suka seni dan menjahit. Kain pale turquoise, salah satu jenis warna biru kesukaan Sekar.
Filosofi kain oleh Hadi dijadikan seperti pernikahan mereka. Kain yang sebelum
jadi pakaian indah harus melewati proses panjang, dari pintalan benang, tusukan
jarum, robekan gunting berkali-kali dan rasanya sakit. Filosofi Sekar seperti
bambu. Jenis rumput ini lentur tapi bisa mengokohkannya dari terpaan
angin.
Sekar diingatkan agar “Ojo
obah yen atimu keprayah. Aluwung meneng nganti atimu lerem.” Artinya jangan
bertindak saat hatimu didera emosi, lebih baik diam sampai hatimu tenang lagi.
cinta itu menguatkan. Ketika Ajeng hadir lagi untuk minta dimadu Hadi. Hadi
menguatkan hati Sekar dengan mengibaratkan Sekar seperti mutiara.
Bertahun-tahun ditempa dalam kegelapan perut kerang yang berada pekat di dasar
laut lalu menjadi keindahan paripurna. Hadi tidak akan tergoda dengan perhiasan
lain karena baginya Sekar adalah mutiara yang ia selami dengan susah payah di
dalamnya samudra. “Gusti paring dalan
kanggo uwong sing gelem ndalan”. Artinya Tuhan akan memberikan jalan kepada
siapa pun yang berjalan di atas kebenaran.
Di Kota Bath, Somerset,
Inggris Hadi menggendong Sekar di atas Pulteney Bridge atau jembatan sepanjang
45 meter yang melintasi Sungai Avon. Kota Bath merupakan kota paling romantis
dan menawan di Inggris dengan arsitektur klasik ala Georgian Architecture. Ada
taman cantik nuansa klasik bernama Prior Park, The Roman Baths dengan kolam
bagian tengahnya seperti Taman Sari di Yogyakarta. Sekar berpisah 3 bulan dari Hadi
untuk menempuh kursus intensif di British Academy of Fashion Design di Mayfair,
London, sedangkan Hadi mengelola bisnis baru yakni sovenir dengan tulisan
pepatah Jawa melalui brand Sekarhadi.
Hadi membawa Sekar ke
Britania Raya dengan melatih soal IELTS secara privat. Tumpukan buku Cambridge
IELTS dan Longman IELTS kadang membuat Sekar frustasi di tengah prosesnya. Sekar
pernah ditegur saat writing part 1
karena ia menulis opini dan bukan trand.
Sampai-sampai Sekar bilang untuk berhenti saja. Namun, Hadi bersabar untuk
mengajarinya dan kembali meyakinkan impian Sekar, menguatkan hati Sekar.
Di Britania Raya, Sekar
juga mengambil workshop di Julian
Robert (desainer inggris) yang juga jadi dosen di Royal College of Art, London,
dan lima kali menyabet penghargaan British Fashion Chourcil’s New Generation
Award. Julian menciptakan teknik substraction
cutting atau dikenal dengan teknik potongan zero waste. Di sana, Hadi masih sama, orang yang sangat romantis,
memberikan kejutan setangkai mawar merah saat ulang tahun Sekar ke 22 tahun di
depan khalayak ramai.
Novel ini mencoba
mengenalkan khalayak pada budaya Jawa terutama tentang batik, peralatan batik,
khususnya canting, nilai filosofi
yang terkadung di dalamnya sehingga sangat hayati sebagai jalan hidup manusia
serta ragam budaya Jawa dan tanah Yogyakarta. Tak lupa sosiologis Inggis
sebagai pelabuhan baru tempat Sekar meniti karir dimunculkan. Beberapa pitutur
Jawa, pepatah Jawa, kiasan, sebelas tembang macapat
turut mewarnai.
Novel ini secara luas,
menceritakan tentang biduk rumah tangga. Ada cobaan dan godaan baik dari
keluarga maupun orang ketiga, namun ketika kepecayaan dan cinta menguasai
keduanya. Maka ikatan mereka akan kokoh. Bagaimana pun ombak datang dan badai
menghantam. Panggilan unik yang diberikan Hadi kepada Sekar seperti gadis jahe,
mutiara, bambu, sigaring nyawaku,
menjadi satu gletaran yang menarik
bagi pembaca saat membaca novel ini sampai usai. Jadi selamat membaca dan
dijamin seru. (Arina Ulfatul Jannah, Novel Canting)
0 Comments